Kasus Garuda Indonesia vs Youtuber yang Viral

Garuda Indoensia
Garuda Indonesia adalah maskapai penerbangan nasional Indonesia yang terbang ke lebih dari 40 tujuan domestik dan 36 tujuan internasional. Garuda Indonesia meraih penghargaan sebagai Maskapai Penerbangan Regional Terbaik di Dunia yang diberikan oleh Skytrax.
Terbang untuk pertama kalinya di tahun 1949, saat ini Garuda Indonesia membawa lebih dari 25 juta penumpang setiap tahunnya.
Tetapi beberapa waktu lalu, publik diramaikan dengan unggahan Youtuber Rius Vernandes yang berisi tentang foto menu kelas bisnis maskapai Garuda Indonesia yang ditulis tangan diedarkan ke penumpang kelas bisnis. Dalam unggahannya tersebut, Rius juga menyebutkan bahwa penumpang kelas bisnis rute Jakarta – Sydney tersebut kehabisan wine.

Larangan Berfoto dalam Pesawat

Kasus yang sebetulnya “ringan” tersebut membuat gempar para influencer dan warganet lantaran Garuda Indonesia mengeluarkan aturan larangan berfoto di dalam pesawat (yang kemudian dikoreksi menjadi “himbauan”).


Larangan Foto Garuda Indonesia
Tidak hanya itu, Garuda Indonesia juga melaporkan Rius ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik perusahaan.


Unggahan Rius Vernandes dalam akun Instagram-nya

Beberapa kalangan berpendapat Garuda terlalu berlebihan, arogan, reaktif, dan menghancurkan citra baik yang telah dibangun selama puluhan tahun. 

Dalam pernyataannya, Rius menyebutkan bahwa tidak ada tendensi sama sekali untuk mencemarkan nama baik Garuda. Saat unggahan tersebut viral, pihak Garuda justru membantah bahwa menu tulisan tangan tersebut hanya merupakan catatan pribadi awak kabin yang tidak diedarkan ke penumpang. 
Ada beberapa sumber yang kurang valid menuduh Rius meminta menu tersebut secara paksa kepada awak kabin untuk dipotret. Namun hal tersebut menurut saya janggal. Karena, kalau memang betul menu tersebut merupakan catatan pribadi awak kabin, bentuknya tidak akan serapi itu, serta tidak mungkin sampai ke tangan penumpang yang belakangan saya ketahui tidak hanya Rius dan pacarnya, namun juga penumpang lain di kelas bisnis tersebut.

Memanfaatkan Momen

Beberapa brand pun memanfaatkan momen ini untuk moment marketing, yaitu salah satu cara pemasaran brand dengan tap in ke momen-momen yang sedang hangat dibicarakan di kalangan masyarakat. Sebut saja, Grab ID (yang belakangan saya ketahui postingannya dihapus) Sang Pisang, hingga Gramedia turut memanfaatkan momen tersebut untuk meningkatkan engagement dengan audiens.


Grab


Bahkan, AirAsia Indonesia langsung meluncurkan digital activation “Momen bahagia saat terbang bersama Air Asia” yang meng-encourage penumpang untuk mengabadikan momen terbaik mereka saat menaiki maskapai ini.



Moment marketing
 ini, secara tidak langsung merupakan “sindiran halus” kepada Garuda Indonesia yang melarang penumpang untuk mengambil foto apapun saat berada di dalam kabin pesawat.

Apakah Mengambil Foto dalam Pesawat Tidak Diperbolehkan?

Ya, apabila penumpang melanggar privasi awak kabin atau penumpang lainnya (misal: memotret pramugari cantik). Atau, ketika penumpang malah asyik foto-foto ketika awak kabin sedang menjelaskan prosedur keselamatan penerbangan. Berfoto diperbolehkan dengan catatan, foto tidak diambil ketika pesawat mengalami “fase kritis” lepas landas dan mendarat.

Diluar itu, apabila penumpang ingin selfie dan mengabadikan momen perjalanan di dalam pesawat udara, saya kira hal tersebut tidak bermasalah.

Apa pelajaran yang bisa diambil dari kasus ini? 

Dari sisi public relations, ada beberapa pelajaran berharga yang bisa diambil dari kejadian ini.
Pertama, jadikan kritik dari pengguna jasa sebagai bahan untuk evaluasi perusahaan. Menu belum dicetak? Cukup ucapkan mohon maaf atas ketidaknyamanannya, saat ini menu masih dalam proses pencetakan. Lalu, penumpang dapat diberikan kompensasi berupa voucher diskon atau dessert tambahan.
Kedua, ubah momen negatif menjadi positif. Menu belum dicetak dan viral? Mengapa tidak membuat kompetisi “Desain in-flight menu Garuda Indonesia”? Pasti menjadi sebuah kebanggaan bagi para desainer grafis di luar sana apabila karyanya digunakan dalam seluruh penerbangan Garuda Indonesia.  Atau, membuat konten khusus bersama Rius Vernandes yang berisi permohonan maaf, bincang-bincang santai, dan lain-lain.
Ketiga, jangan terlalu reaktif. Sekali statement keluar ke media, maka tidak akan bisa ditarik. Dikoreksi mungkin, namun apa yang dikatakan oleh juru bicara perusahaan pertama kali kepada media akan ter-publish selamanya.
Garuda Indonesia, dalam hal ini menarik pernyataan “Melarang penumpang mengambil foto” menjadi “Menghimbau penumpang agar tidak mengambil foto”. Hal ini menyiratkan bahwa Garuda Indonesia kurang memikirkan matang-matang statement yang dikeluarkan kepada media.
Keempat, selesaikan masalah sesuai dengan ranahnya. Apabila masalah terdapat di media sosial, selesaikan melalui media sosial. Tidak perlu hingga membawa ke ranah hukum. Pun, arogansi Garuda Indonesia terlihat karena sikapnya yang anti kritik.
Namun, keempat hal tersebut hanya bisa dilakukan apabila ada dukungan dari manajemen senior dan stakeholder terkait. Siapa yang tahu, jika sebenarnya tim PR Garuda Indonesia sudah berupaya membuat strategi krisis yang baik, namun pimpinan tidak mendukung? Well, hanya Garuda Indonesia yang bisa menjawabnya.

Sebagai perusahaan penyedia jasa, kualitas pelayanan merupakan hal yang utama. Kasus ini, akan terus diingat selama beberapa tahun ke depan sebagai pembelajaran bagi perusahaan lainnya, khususnya dari segi PR.


Comments

Popular Posts